Sejarah Kota Samarinda tidak lepas dari
peranan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, rombongan
orang-orang Bugis Wajo, serta penjajah Belanda dan Jepang.
Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara
Kerajaan Kutai Ing Martadipura berdiri pada abad ke-4 sampai
dengan abad ke-17 Masehi dan berpusat di Muara Kaman, Kutai Kartanegara.
Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri tahun 1300 sampai dengan tahun 1959
mengalami dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tahun
1735-1959 tidak disebutkan dalam cerita. Tahun 1300-1734 berpusat di Kutai
Lama atau Tepian Batu. Raja pertama bernama Aji Batara Agung Dewa
Sakti dan permaisurinya bernama Putri Karang Melenu.
Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara
meliputi daerah yang luas, mulai daerah pantai, daerah kiri kanan Sungai
Mahakam, sampai batas wilayah Muara Kaman ke udik. Daerah itu merupakan wilayah
kekuasaan Kerajaan Kutai Ing Martadipura sampai masa runtuh kerajaan itu pada
abad ke-17.
Wilayah Samarinda termasuk pula ke dalam wilayah Kerajaan Kutai
Kartanegara. Akan tetapi saat itu, belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi
kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan
persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan
itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang
Asam.
Berdirinya kota Samarinda tidak terlepas dari hijrah
orang-orang Bugis Wajo, Sulawesi Selatan. Merekalah yang membangun
Samarinda. Menurut lontara atau silsilah kedatangan suku Bugis menyebar ke
seluruh Nusantara bermula pada tahun 1668.
Penyebaran itu terjadi karena kerusuhan di Kerajaan Bone Sulawesi
Selatan pada tahun 1665. Ketika itu diadakan perhelatan besar pernikahan putra
Goa dengan putri Bone. Kemudian terjadi perkelahian antara putra-putra Bone dan
putra-putra bangsawan Wajo karena acara sabung ayam. Saat itu putra bangsawan
Bone tewas tertikam keris sakti putra Wajo.
Awal mula berdirinya Samarinda
Perjanjian Bungaya
Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di
bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni
menyerangMakassar dari laut, sedangkan Arung Palakka yang
mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari
penjajahanSultan Hasanuddin (raja Gowa) menyerang dari daratan.
Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan
Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal
dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.
Kedatangan orang Bugis ke Kesultanan Kutai
Pemukiman penduduk di tepi Sungai Mahakam pada zaman pendudukan
Belanda. Wilayah ini sekarang menjadi kawasan Karang Asam.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan
Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian
Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara
gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya di
antaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang
dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama).
Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dariKerajaan Gowa itu diterima dengan
baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan
tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah
yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan
perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja
Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah
sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi
daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus
putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang
gunung-gunung (Gunung Selili).
Rumah Rakit yang Sama Rendah
Jl. Jendral Winkelman (sekarang Jl. RE Martadinata dan Jl. Gajah
Mada) di tepi Sungai Mahakam pada zaman penjajahan Belanda.
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai
memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal
tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan
perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan
bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai
daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang
dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis
yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini
tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik
asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara
orang Bugis, Kutai,Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi
antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat
apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi
yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai
daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi
pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda.
Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang
terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
Penduduk menerima bagian lahan yang sama-sama rendah sehingga
wilayah itu dinamakan "sama rendah". Akhirnya daerah itu disebut
Samarinda. Penduduk Samarinda setiap tahun bertambah karena orang-orang Wajo
berdatangan dan menetap di sana.
Berhadapan dengan daerah pemukiman baru ini, di tepi kanan Sungai
Mahakam berkembang pula pemukiman di sekitar sungai Karang Mumus dan Karang
Asam. Pemukiman ini dibangun para petani dan nelayan suku
Kutai dan suku Banjar, pendatang dari Kalimantan Selatan.
La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan
bantuan seluruh pengikutnya. Hutan belantara ditebas dan kayu-kayu besar
ditebang. Setelah lahan terbuka dan pohon-pohon kering dibakar terbukalah
daerah persawahan yang luas di tanah datar dan rendah tanpa bukit-bukit. Air
tadah hujan menggenangi lahan yang pada saatnya ditanami bibit padi sawah.
Rumah-rumah didirikan di tepi Sungai Mahakam, membujur dari hilir
ke hulu. Setiap keluarga mendirikan tumah tinggal yang dikerjakan secara
gotong-royong. Dengan sistem gotong-royong semua pekerjaan dapat dilaksanakan
dengan baik.
Pua Ado diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia
bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke
bagian Muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya. Keputusan
sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu,
keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif.
Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi. Dengan demikian, kapal-kapal
dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa
dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal
pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat
Kerajaan, di Tepian Pandan. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan
dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Sejak kedatangan bangsa Belanda yang memerintah di Indonesia
sebagai penjajah, daerah ini dibangun menjadi pusat pemerintahan di Kalimantan
Timur, wilayah antara Karang Mumus dan Karang Asam.
Bangsa Jepang datang ke Samarinda pada tanggal 3
Februari 1942 setelah
menguasai Tarakan dan Balikpapan. Sesampainya di Samarinda, pada
tanggal 5 Februari 1942, tentara Jepang melanjutkan penyerbuaannya ke
Lapangan Terbang Samarinda II yang waktu itu masih dikuasai oleh Tentara Hindia
Belanda (KNIL). Dengan berhasil direbutnya lapangan terbang itu, dengan mudah
pula Banjarmasin diduduki oleh tentara Jepang pada tanggal 10 Februari 1942.
Samarinda Seberang
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip
dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“
karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag,
tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang
diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang yang dipimpin
oleh Pua Ado. Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan
Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai
perekonomian di daerah ini. Untuk mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka
Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada
tahun1730 atau 62 tahun setelah Pua Ado membangun Samarinda Seberang. Di
situlah Belanda memusatkan perdagangannya.
Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh
Belanda juga atas izin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi
dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu
juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin
keamanan bagi Kerajaan Kutai.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang
datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan
tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga
keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus
’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim. Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan
masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut.
Masalah keamanan rakyat memang terjamin dengan
terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR
(Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.
Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota
Samarinda dimulai ketika wali kota Kadrie Oening diangkat dan
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No. Pemda 7/
67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikanMayor
Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa
Timur di Surabaya. Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi
tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda
Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km².
Kemudian pada tahun 1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727
km² meliputi daerah Kecamatan Palaran,Sanga-Sanga, Muara
Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi
perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal KecamatanPalaran, Samarinda
Seberang, Samarinda Ilir dan Samarinda Ulu
dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Samarinda